Saturday, September 27, 2008

Cerita Inspirasi; a story of how God taught me a lesson!

Janda Di Sarfat

(dan ‘Aku Di Philadelphia’)


(W. Dwi Bounyarith)


Ingat cerita sekolah minggu tentang janda di sarfat? Ingat bagaimana Tuhan menyuruhnya memberi justru dalam kekurangannya? Ingat bagaimana dengan ‘nekad’ dia memilih menuruti perintah Tuhan yang ‘nggak masuk akal’ dan bersiap mati bersama anak perempuannya esok pagi karena mereka tak punya lagi makanan? Ingat bagaimana ending cerita ini?


Cerita janda di sarfat ini terulang kembali berabad kemudian. Beda detail, beda ending… tetapi dalam kerangka yang serupa.


Awal tahun 2008.

Biasanya orang mengawali tahun dengan optimistis (atau upaya untuk bersikap optimis). Semoga tahun ini lebih baik dari tahun lalu. Semoga target tahun ini tercapai lebih tinggi dari tahun lalu. Semoga karir tahun ini naik dari tahun lalu. Semoga tabungan akhir tahun ini lebih besar dari tahun lalu. Dan semoga, semoga yang lain…

Saya mengawali tahun ini serba pesimis. Semua tampak suram dan mengambang. Semua terasa tak berujung dan tak berpangkal. Kondisi keuangan memburuk dari tahun lalu. Kebutuhan meningkat, tepatnya melonjak! Semangat dan antusias terhadap hidup menurun, tepatnya drops! Karir… what karir?


Tanpa sadar, hari-hari saya makin penuh dengan sungutan dan gerutuan. Doa-doa saya makin sarat dengan mengasihani diri sendiri, perasaan nelangsa, dan berkeluh kesah kepada Tuhan…‘why oh, why ya Tuhan?’.


Why oh, why ya Tuhan… ?

Sekian lama berumah tangga kok belum juga terkumpul tabungan hari tua. Hidup kok cuma begini-begini…bosan dan menjemukan.


Orang lain mulai menyiapkan tabungan jangka panjang untuk persiapan biaya kuliah anak-anak mereka nanti (sekian belas tahun ke depan!). Saya kok hanya bisa memikirkan biaya sekolah dasar anak saya, dalam basis pertahun saja! Itupun terasa ‘ngotot’ dan terengah-engah. (Karena anak saya bersekolah di private school yang lumayan mahal!)


Orang lain memiliki rumah, bahkan lebih dari satu. Dengan mudah membeli dan bertukar mobil, bahkan lebih dari 2, 3. Saya… hanya berkutat mampu membayar rumah kontrakan, dan bill-bill kebutuhan primer bulanan saja.


Orang lain mulai menyusun rencana membuka usaha sendiri, membeli franchise usaha something. Saya kok hanya berkutat menghitung dari pay check ke pay check mingguan suami. Dan itupun tak berdiam lama di tangan kami karena harus segera mengalir ke muara-muara akhirnya yang sudah ternganga lebar, termasuk mengirimkannya ke sana ke mari untuk membantu sanak saudara yang kekurangan.


Orang lain pergi vacation setiap tahun. Saya hanya mampu bawa anak ke play ground gratis di tengah kota yang disediakan pemerintah untuk masyarakat yang tak mampu pergi vacation sekelas saya ini. Anak-anak mereka ramai berceloteh saling membandingkan betapa fun-nya Disneyland yang di sini, Disneyland yang di sana. Anak kami (yang cuma satu-satunya!) hanya mampu bercerita tentang perpustakaan ini, kebun binatang itu, park ini dan park itu.


Why, oh why ya Tuhan…?

Apa bedanya aku dan mereka? Mengapa perlakuanMu berbeda padaku? Kenapa aku yang Kau taruh di sisi sini? Factor apa yang mendorongMu membuat keputusan itu? Factor apa yang membuatMu memilihku untuk posisi yang tak begitu menyenangkan ini?


Hingga suatu sore di pertengahan bulan Maret awal tahun itu…

Sebuah berita di Koran Indonesia menarik perhatian saya. Seorang ibu muda yang sedang hamil tua dan dua anak balitanya ditemukan mati kelaparan di rumah kardusnya di bawah kolong jembatan somewhere di Indonesia. Tulisan berita ini menusuk sangat dalam di hati saya. (walaupun beberapa hari kemudian berita ini diralat, ternyata mereka mati bukan karena kelaparan tapi karena penyakit muntaber dan malaria!).


Tetapi impact berita salah cetak ini terlanjur terpatri di sanubari saya. And God used it to teach me a lesson sebuah pelajaran hidup yang merubah hidup saya! Mungkin Tuhan mulai ‘gemes’ mendengar keluh kesah saya! Berhari-hari saya tak bisa tidur. Dihantui mimpi buruk dan sangat tidak nyaman tentang kemiskinan, kelaparan dan kematian. Ibu muda dan anak-anaknya dari kutipan berita itu menjadi berwajah, dan bernama di mimpi-mimpi saya. Kemudian berturut-turut bergantian dengan wajah-wajah dan nama-nama lain.


Puncaknya, suatu malam saya bermimpi…

Saya, anak perempuan saya, Tiara yang berumur 6 tahun dan adik saya Niel berjalan beriring-iringan. Masing-masing kami menarik gerobak berisi penuh bahan-bahan makanan pokok. Keluar-masuk perkampungan kumuh di bawah jembatan yang sarat ratusan gubuk-gubuk kardus reot. Anak-anak kecil yang dekil dan kotor dan kurus kering bertelanjang dada dan kaki mengikuti kami dengan tangan-tangan terulur meminta. Kami bertiga sibuk membagi-bagikan beras, minyak, gula dan mie instan kepada mereka hingga 3 gerobak kami kosong. Bahan makanan habis, tapi masih banyak sekali anak-anak yang menatap kami dengan mata menghiba dan berharap.


Saya berlari ke sebuah bukit kecil di ujung perkampungan kumuh itu sambil menangis sejadinya. Seperti seorang anak kecil yeng jengkel dan frustrasi dengan ketidak mampuannya menyelesaikan suatu tugas. Betapa sesaknya perasaan sedih, bersalah dan putus asa… karena ingin terus memberi tapi sudah tak punya lagi!


Sebuah tangan memeluk dan mendekap saya erat. (Tadinya saya pikir itu Niel… tapi rasanya terlalu perkasa, terlalu lembut, terlalu teduh untuk tangan Niel!). Orang yang memeluk saya itu berkata… “Sudahlah Kik, mau apa lagi kalau memang cuma itu yang mampu kamu lakukan. Justru yang perlu kamu tangisi adalah: YANG MAMPU kamu lakukan itu …BELUM pernah kamu lakukan!”.


Saya terbangun malam itu dan berdoa. (Lebih tepatnya menyampaikan mossi protest!) Apa-apaan ini Tuhan????. Tidakkah Kau dengar doa-doaku selama ini? Tidakkah Kau dengar keluh kesahku selama ini? Aku sendiri sedang dalam ketidak beruntungan secara materi… sering pas-pasan, kadang sedikit kurang, kok malah dituntut untuk memberi! Tuhan nggak salah dengar? Tuhan nggak salah menjawab doa? Tuhan nggak salah pilih orang nih…?


Sebuah sign bertuliskan “Trust me on this, just take my path! And you’ll see where it takes you... to the valley of peace!” flashing dengan sinar menyilaukan seperti tanda bahaya di kepala saya (lebih tepatnya di hati saya, karna ternyata menetap disana dan tak bisa dihapuskan hingga saat ini!). Begini mungkin cara Tuhan menjawab doa di jaman para nabi dulu… instant dan nyata! So, saya yakini saja itu jawaban Tuhan atas segala tanda tanya di kepala saya selama ini. Dan karna datangnya dari Tuhan…. What choice do I have selain melakukannya!


Saat itu juga (jam 2. 45 dini hari!) saya buka komputer saya dan menulis email ke adik saya, Niel. Saya ceritakan detail kepadanya tentang ‘pewahyuan’ yang saya terima dari Tuhan dan segala keadaan yang melatar belakanginya. Saya katakan bahwa Tuhan taruh di hati saya rasa iba dan belas kasih untuk orang-orang yang terlunta, untuk mereka yang paling miskin diantara yang miskin. Dan saya bilang kepadanya… “Tuhan mau aku ajak kamu melakukan proyek kasih ini!”


Esok paginya saya terima jawaban email dari Niel. Dia sangat menyambut dan mendukung dan meyediakan diri untuk pelaksanaan proyek kasih ini. Kami segera menyusun rencana. Niel segera mencari dan menjajagi lokasi pemukiman kumuh di seputar kota Malang, our home town.


Dan ternyata tak perlu perencanaan dan kerja berat untuk tahap ini karna… saking banyaknya lokasi semacam ini! Kemudian dia membuat perhitungan harga-harga bahan makanan pokok, perkiraan dana untuk belanja dan jumlah keluarga yang mungkin bisa terjangkau untuk tahap pertama pelaksanaan proyek kasih kami itu. Berdasarkan perhitungan yang Niel buat, kami memutuskan untuk mengawali proyek kasih ini dengan 10 keluarga yang paling miskin yang hidup di bantaran sungai Brantas.


Sayapun, di Philadelphia, mulai melakukan bagian saya. Saya mencari pekerjaan part time yang bisa saya lakukan di akhir pekan. Semua hasil kerja part time saya kumpulkan 100 persen untuk mendanai proyek kasih ini. Selama masa pengumpulan dana dan masa persiapan awal pelaksanaan proyek kasih yang pertama ini sangat mendebarkan. Exciting…! Rasanya hampir seperti menunggu kelahiran anak pertama.


Ada sesuatu yang indah yang dinanti-nantikan. Saya sangat bergairah menjalani keseharian saya… menanti akhir pekan dengan sangat tidak sabar. Mengumpulkan dan menghitung ‘uang akhir

pekan’ itu dengan penuh harapan. Herannya saya jadi sangat disiplin(so unlike me!) tak berani mengutik uang itu untuk keperluan lain!


Hingga tiba saatnya…

Uang akhir pekan saya terkumpul 265 dollar, cukup untuk menjalankan missi kasih kami. Langsung saya kirimkan uang itu ke Niel dan dia belanjakan sesuai keperluan. Dengan itu terbeli bahan-bahan pokok yang bisa mencukupi kebutuhan dasar hidup 10 keluarga selama satu bulan! Amazing!. Kami membeli beras, minyak goreng, gula, mie instant dan beberapa bahan pokok lainnya.


Hari minggu, sepulang dari gereja… Niel dan istrinya dan beberapa temannya membawa bahan-bahan makanan tersebut ke lokasi dan mulai membagi-bagikannya. 10 keluarga penerima sumbangan kasih kami itu ternganga… terpesona! Ada yang menangis haru, ada yang tak henti bertanya “Dari siapa tho Mas kiriman ini?” Sambil menahan haru Niel menjawab singkat “Rejeki saking Gusti, Bu.” (= berkat dari Tuhan, Bu.).



Lebih kecil dari sebercak debu…

…apa yang kami lakukan ini. Tapi kami melakukannya dengan cinta!. Kepada Tuhan, kepada sesama… dan impact yang paling luar biasa ternyata justru kepada saya pribadi. Tuhan mengajar saya suatu pelajaran hidup yang luar biasa.


Tuhan menaruh ‘greget’ untuk melakukan tindakan iman di hati saya. Begitu kuatnya hingga saya tidak punya pilihan lain selain mematuhinya. Dengan a total surrender kepadaNya bahwa Dia akan mengerjakan sesuatu melalui perintah ini.


Dan hasilnya, ini pelajaran yang saya petik dariNya…

Kondisi keuangan keluarga kami tidak drastic meningkat, tetapi pengeluaran yang tidak penting menurun tajam. Kami tidak serta merta menjadi kaya, tetapi saya pribadi merasa menjadi sangat kaya batin. Dengan kondisi yang sama… saya lebih berbahagia, hidup saya jauh lebih berwarna, keseharian saya lebih bergairah!


Tuhan mengajar saya melihat hidup saya dari sudut pandang ‘bawah kolong jembatan’!. Sehingga yang tadinya terlewat dari pengamatan saya, sekarang tampak sangat jelas… Betapa saya berkelimpahan. Betapa saya berbahagia dengan keluarga yang utuh dan harmonis. Betapa saya sangat diberkati dengan kesehatan. Betapa saya dicintai dan diistimewakan Tuhan sehingga Ia menempatkan saya di sisi hidup yang serba mudah, bukan di sisi ‘bawah kolong jembatan’ yang serba penuh perjuangan. Betapa hidup saya ini, bagi separuh penduduk bumi yang hidup di bawah garis kemiskinan… adalah sebuah impian muluk yang bermimpi-pun mereka tak punya keberanian!


Saya malu hati…

Duh… tak heran kalau Tuhan sampai ‘gemes’ mendengar segala keluh kesah saya. Tak heran kalau dulu hidup saya tak bahagia dan merasa serba kurang. Karna saya tak tahu berterima kasih! Terlalu sibuk menggaris bawahi ‘kemalangan’ dari pada hal-hal baik yang padahal jauh lebih banyak. Tak menghargai segala kebaikan dan kemurahan Tuhan yang melimpah di hidup saya.


Tahun 2008 hampir berakhir…

Proyek Kasih kami masih terus berjalan secara berkala. (Malahan Tuhan mempermudahnya dengan mendatangkan ‘anak kost’ di rumah kami sehingga saya tak perlu lagi kerja akhir pekan untuk mendanai proyek kasih ini! See… betapa ajaibnya Tuhan itu!) Dan ini membuat hidup saya terasa penuh dan berwarna. Saya merasa kaya karna saya berada di posisi yang mampu membagi berkat kepada orang lain.

Ternyata… kebahagiaan itu HANYA bersumber pada “hati yang selalu penuh ucapan syukur!” no matter what condition we are in!.


“God has two dwellings: one in Heaven, and the other in a meek and thankful heart” (Izaak Walton). “Tuhan punya dua tempat tinggal: satu di Surga, satunya lagi di hati yang sabar, lembut dan penuh ucapan syukur!.”


“Hitung satu persatu kemurahan Tuhan

Pandang hidup dari perspektif yang berbeda

Lakukan tindakan iman dengan percaya

Tata hati menjadi tempat tinggal Tuhan

Dan… anda akan terpesona dengan apa yang Tuhan mampu lakukan dalam hidup!

Selamat mencoba dan menikmati perubahan!”


(Kikz)



No comments: