Saturday, September 27, 2008

Cerpen; camilan ringan bagi jiwa!

A Cloud in the Sky

(Awan di Langit).


(Oleh: W.Dwi Bounyarith)


Tiara sedang marah. Dia jengkel karena tidak boleh main di luar. Dari dalam ruang tamu ia mendengar gelak tawa dan suara riang teman-temannya bermain ‘tag, you’re it!’ di depan rumah. Sedangkan dia cuma bisa menonton dengan cemburu dari balik jendela. Menghiba dengan mata puppy-nya Tiara mencoba rayuan terakhirnya …


Please, Mommy… Tiara bosan. Dari kemarin dikurung terus. Please, Mommy, sebentar saja. Satu round tag, saja and then I’ll go back right in!”.

“Sayang, panas badanmu masih turun naik, batukmu masih keras…

But I feel better already, Mommy! So, can I?”

“Mami tahu kamu sangat ingin main ke luar. Sabarlah sedikit, kalau badanmu fit, bermainpun lebih menyenangkan, nggak cepat capek. Trust me on this, please!”.


“But, Mommy… It’s not fun just watching! I wanna play, too!”

“Nonton salah satu film Barbie-mu, sana…”

Boring…!”

“Baca buku di kamar, sanaYou love books.”

“Nggak mood!”

“Di otakmu cuma mau main! Jadi semua yang Mami usulkan kamu tolak!”

“Oh…please Mommy, sebentar aja?”

“Tiara, I am sorry but I have to say, NO! Berhentilah merengek!


“You always say NO. You’re the worse mother in the whole universe! I wish I were somewhere else but here. I wish I were… a cloud in the sky!. Then I could do whatever I wanna do. I could go wherever I wanna go. I could be playing outside, up above all day long without a mother to say NO!”

Tiara menjerit. Kejengkelannya memuncak karena usaha terakhirnya gagal.

“Tiara, only because I understand your frustration for being sick, and only because I sympathize with all your discomfort, I will let that one go. Tomorrow we will talk about this, and you will apologize for saying those mean things to me. Now go to your room and calm down. You can be a cloud in the sky for tonight, okay?”


Malamnya suhu badan Tiara panas tinggi. Sepanjang malam Ibunya tak tidur sekejappun. Menjagainya, mengompres kepalanya. Memberinya obat penurun panas. Memaksakan bermacam jus buah dan air putih setiap ia merengek terjaga agar tubuhnya tidak dehidrasi. Memeriksa temperaturnya beberapa jam sekali. Membetulkan letak bantalnya untuk mengurangi batuknya. Menggendongnya ke kamar mandi dan duduk memangkunya di kloset dengan membiarkan air panas mengucur deras di bathtub menghasilkan uap air hangat yang mencairkan sumbatan di hidung dan tenggorokannya sehingga ia bisa bernafas lebih lega. Semua upaya dilakukannya untuk mengurangi penderitaan buah hatinya. Supaya dalam kesakitannya, minimal ia bisa bernafas dan tidur sedikit lebih nyaman.


Paginya Tiara membaik. Suhu badannya turun. Kepalanya nggak pusing lagi. Batuknya masih, tapi nafasnya nggak tersumbat lagi. Istirahat semalam membuat tenaganya sedikit terpulihkan.


“Good morning my little cloud! I hope the sky is not so cloudy this morning.”

Mommy…!” senyum ceria mengembang di wajah Tiara.

“I am not a cloud anymore, Mommy. So you can just call me ‘my little sunshine’ like you always do.”

“Lho, kenapa? Bukannya semalam kamu ingin jadi awan di langit?”


“Semalam aku bermimpi angan-anganku menjadi kenyataan. Aku menjadi segumpal awan yang cantik di langit biru. Aku terbang tinggi sekali hingga semua yang di bumi kelihatan.Pemandangannya sangat indah dari atas sana, Mami.Awalnya aku senang jadi awan di langit. Tapi lama-lama aku jadi bosan dan kesepian.”

“Lho? Kenapa?”

“Karna… Ketika aku terbang tinggi, aku bisa melihat pohon-pohon, bunga-bunga, aku melihat mainanku… tapi aku nggak bisa menyentuhnya. Aku melihat teman-temanku, Daddy,… and you. Tapi kalian tak mendengarku. Karena aku terlalu jauh di atas. I got so lonely and decided to fly back down home.”


“Katanya kemarin kamu nggak suka Ibu yang selalu melarang dan bilang’NO’?”

“Iya…tapi berarti aku nggak akan punya Ibu yang suka memelukku, yang merawatku kalau aku sakit, yang memberiku ... hundreds of sloppy kisses, juga dong!.”

“Ya iya. Karna itu satu paket. Seorang Ibu itu berfungsi dua-duanya… mencintai dan melindungi! Seorang Ibu bukan hanya untuk berkata ‘Ya’ tapi kadang juga harus mengatakan ‘Tidak’. Nggak bisa Cuma memilih salah satu… harus terima dua-dua fungsinya!.”


“Well I guess I’d rather have a mother who is real and near that I can talk to and hug and cuddle up with! Even if sometimes she has to say No!”

“I am glad you flew back down home, my little cloud”

“Little sunshine, Mommy!”

“I am glad you flew back down home, my little sunshine!”

“I am glad you are my mother, Mommy. And I am glad I can touch you and love you from here…not from a far. You are the best mother in the whole wide universe.”


Tiara memeluk erat ibunya. Jari-jari mungilnya terkunci rapat di belakang leher ibunya. Lembut, penuh cinta, ibunya membelai rambut berantakan yang menutupi keningnya.


“I am sorry, Mommy.”

“I know you are, Sweet Pea.”

“I didn’t mean all the mean things I said yesterday”

“I knew you didn’t.

“I love you, Mommy”

“I love you more, sweet heart!”.


Berapa kali dalam pengiringan kita kepada Tuhan, kita berlaku kekanan-kanakan seperti ini? Ketika keadaan tidak berjalan seperti yang kita mau. Ketika Tuhan menjawab “NO” pada doa dan permintaan kita. Ketika Tuhan membatasi ruang gerak kita hingga kita merasa terkurung dan tak nyaman. Ketika Tuhan dengan tegas bilang ‘JANGAN’ untuk hal-hal yang sangat ingiiiiin kita lakukan…

…lalu timbul keinginan untuk 'ngambek' dan menjauh saja dari Tuhan dan semua laranganNya.


Tuhan punya alasan yang sangat kuat untuk tidak selalu menjawab ‘Yes’. Terutama untuk menjaga kita dekat dalam pelukannya setiap saat, agar Ia bisa merawat dan mencintai kita dari dekat. Agar kita sembuh total dari ‘sakit’. Agar kita tak pernah merasa kesepian dan sendiri. Agar kita tak pernah… jauh dariNya!


--- THE END ---


Philadelphia, May 1, 2008

For my little sunshine, Tiara, who I hope will never wish to become a cloud in the sky ever again! Coz’ then I’ll miss her like crazy!

(Kikz.)

No comments: